Home » » Tantangan Capres di Bidang Lingkungan

Tantangan Capres di Bidang Lingkungan

Written By Admin on Friday 9 May 2014 | 11:52


Jelang pemilihan presiden dan wakil presiden pada 9 Juli 2014, para calon presiden masih sibuk mencari kawan koalisi. Namun adu wacana belum menjadi topik utama. Padahal, masyarakat sangat menanti gagasan dari para petarung kursi kepresidenan. Gagasan inilah salah satu panduan dalam memilih calon presiden yang tepat.

Salah satu isu yang luput dari perhatian adalah masalah lingkungan. Tidak melulu mengenai permasalahan perusakan alam semata, namun juga termasuk konflik sosial yang terjadi di dalamnya. Aksi saling serang yang dilakukan masyarakat dengan perusahaan pengelola lahan masih terus terjadi di Indonesia.

Menurut Direktur Institut Hijau Indonesia, Chalid Muhammad, tantangan utama presiden mendatang adalah bagaimana pembangunan ekonomi dapat dilakukan dengan memperhatikan kondisi ekologi. Jadi, tidak hanya memikirkan keuntungan materi, namun juga akibatnya bagi lingkungan sekitar.

"Jangan sampai, pembangunan sektor ekonomi hanya menyisakan bencana ekologi bagi masyarakat," ujar Chalid saat diwawancarai Plasadana.com untuk Yahoo Indonesia.

Chalid mencontohkan, maraknya pemberian izin di bidang perkebunan dan pertambangan yang berdampak pada rusaknya kondisi lingkungan. Sampai tahun 2014, ia mencatat ada sekitar 10.000 lebih izin pertambangan dan sekitar 100 izin perkebunan yang diterbitkan oleh pemerintah.

Masalahnya, berbagai izin tersebut sangat mudah keluar tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat lokal terhadap sebuah lahan. "Peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah seharusnya sesuai dengan spirit undang-undang lingkungan hidup," tukasnya.

Hal senada diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim. Kata dia, mudahnya perizinan di bidang perikanan yang dikeluarkan oleh Bupati dan Wali Kota banyak berimbas kepada pencemaran lingkungan.

Misal, izin penambangan pasir di Selat Madura dan perizinan reklamasi pantai yang prosesnya tidak mengikuti aturan dalam dalam Perpres Nomor 12 tahun 2012 Tentang Reklamasi Di Wilayah Pesisir dan Kelompok Kecil.

"Ada sekitar 30 Bupati dan Wali Kota yang memberikan izin secara semena-mena, sehingga masyarakat kesulitan untuk mengelola sumber penghidupannya," terang dia.

Dengan begitu, dia melanjutkan, presiden selanjutnya harus mempunyai visi kelautan. Hal itu sesuai dengan kondisi Indonesia yang 70 persen wilayahnya terdiri lautan. Selain itu, presiden mendatang juga tidak boleh lagi memegang orientasi pecah belah dalam mengelola sumber daya alam. Maksudnya, ekonomi tidak bisa dibangun di atas ego sektoral yang mengutamakan kepentingannya masing-masing.

Melihat persoalan energi, kata dia, tidak bisa hanya sebatas dari kacamata energi dan mineral saja, namun perlu juga melihat sektor lain. Begitu juga masalah pangan, bisa juga dilihat dari perspektif perikanan dan kelautan. "Jadi, persoalan yang ada harus dilihat secara menyeluruh," ungkapnya.

Terakhir, kata dia, presiden Indonesia selanjutnya harus memiliki keberpihakan pada masyarakat dan berani menindak pelaku pengrusakan lingkungan. Dalam catatannya, selama tahun 2013 sedikitnya terdapat 25 nelayan atau masyarakat pesisir yang mengalami kriminalisasi karena berupaya mempertahankan lingkungan yang bersih dan sehat dari ancaman aktivitas pertambangan pasir laut yang ada di beberapa daerah.

"Problemnya, Kementerian Lingkungan Hidup beserta aparatur di bawahnya cenderung lemah dan lamban dalam menindaklanjuti laporan langsung atau temuan-temuan masyarakat," tukasnya.

0 comments:

Post a Comment