Yang pertama hendak ditekankan untuk mengawali ulasan ini: Pendekar Tongkat Emas bukan tontonan yang buruk. Ia film yang jauh lebih baik dari puluhan film sampah yang menghiasi layar bioskop kita sepanjang tahun.
Namun, ketika menengok nama-nama yang menghasilkan film ini, wajar
bila harapan begitu tinggi membuncah ketika hendak menontonnya. Dan
ketika usai ditonton, tanya yang muncul adalah: "Heh? Cuma begini?"
Ulasan ini hendak menengok kenapa after taste yang muncul usai menyantap Pendekar Tongkat Emas kurang mengenakkan.
Pada mulanya adalah harapan yang terlalu tinggi. Di belakang Pendekar Tongkat Emas
ada nama-nama hebat sinema Indonesia kiwari: Mira Lesmana dan Riri Riza
dari Miles Films sebagai produser, Ifa Isfansyah sebagai sutradara,
serta Seno Gumira Ajidarma ikut menulis skenarionya. Di deretan pemain
pun nama-nama bukan sembarang yang muncul: Christine Hakim, Reza
Rahadian, serta Nicholas Saputra.
Nama-nama besar di atas bergabung membuat film yang sudah jarang
sekali dibuat: film silat. Film jenis ini yang booming di era 1970-an
dan 1980-an telah dikultuskan generasi sekarang. Mereka yang tumbuh
dengan nonton Si Buta dari Gua Hantu atau Jaka Sembung
(yang sebetulnya bila dilihat lagi dengan pisau bedah film kekinian
banyak sekali bolong di film-film jenis itu) berharap ada semacam
tontonan silat lagi.
Kedua adalah perkembangan genre "film silat" di luar Indonesia.
Harap mafhum, "film silat" adalah frase generik bagi jenis film-film
kungfu berlatar Tiongkok masa lampau. Istilahnya wu xia. 15 tahun
terakhir film silat atau film kungfu menemukan puncak estetisnya.
Ang Lee, sutradara kelas Oscar asal Taiwan membuat film silat Crouching Tiger, Hidden Dragon
(1999). Film itu tidak saja membuat film silat naik pamornya ke ranah
arus-utama (mainstream) dalam arti tak hanya disukai penggemar film
silat; lebih dari itu, filmnya juga disukai kritikus film bahkan menjadi
unggulan Oscar.
Siapa yang tak terpukau menonton adegan duel ilmu pedang di
pucuk-pucuk pohon bambu nan indah bak tarian balet? Majalah Variety
menyebut Crouching Tiger, Hidden Dragon sebuah tontonan "unbelievable touch." Sulit dipercaya, tapi begitu indah.
Ifa Isfansyah tentu belum sekelas Ang Lee. Namun, seperti Ang Lee,
Ifa juga sutradara kelas festival film (walau belum kelas Oscar).
Filmnya, Sang Penari, meraih gelar Film Terbaik FFI 2011. Ifa
juga menggondol gelar Sutradara Terbaik. Oleh karena itu—dengan kelasnya
tersendiri—saya berharap Ifa akan seperti Ang Lee saat menggarap Pendekar Tongkat Emas.
Namun, setelah menontonnya, saya rupanya terlalu berharap. Pendekar Tongkat Emas gagal menjadi Crouching Tiger, Hidden Dragon rasa Indonesia. Ifa Isfansyah batal Ang Lee.
Lantas, apa yang kurang dari Pendekar Tongkat Emas?
Meski sejak awal sineasnya menekankan bahwa film ini adalah
"martial arts drama" yang artinya kurang lebih film drama berlatar
cerita silat, tetaplah adegan silat harus menjadi unsur terpenting.
Alasan utama orang nonton film silat tentulah untuk dibuat terpukau oleh
adegan laga. Hal itu kenapa kita jatuh cinta pada The Raid pertama. Cerita The Raid
sederhana saja: sekelompok polisi hendak menangkap gembong penjahat di
puncak gedung. Sang jagoan harus terlebih dahulu menghabiskan satu-per
satu penjahat di setiap lantai.
Nah, kelemahan utama Pendekar Tongkat Emas justru pada
adegan silatnya. Tidak ada adegan duel yang bikin penonton berdecak
kagum saat melihat para pelakonnya memamerkan ilmu silatnya. Gerak
kamera Gunnar Nimpuno terlalu sering mengambil sudut gambar close-up
atau medium shot. Editan gambar W. Ichwandiardono juga terasa
patah-patah. Saat sebuah jurus tonjokan atau hentakan toya dialamatkan
ke lawan, kamera lalu menyorot sisi lawan. Tidak terasa adegan laga yang
kontinyu.
Hal ini membuat adegan duel kurang bisa dinikmati. Penonton menjadi
berjarak dengan adegan laga yang menjadi pra syarat sebuah film silat
kelas wahid.
Seorang kawan memberi dalih, mungkin lantaran para aktor kita pada
dasarnya bukan aktor laga. Makanya tak sehebat film kungfu adegan
duelnya. Hm, dalih itu luluh saat film ini menggembar-gemborkan adegan
laganya ditata koreagrafer silat asal Hong Kong, Xiong Xin Xin. Dengan
waktu latihan yang cukup, seorang aktor/aktris bisa ditempa menjadi jago
silat. Keanu Reeves, misalnya, tetap bisa menyuguhkan akting silat yang
keren di The Matrix.
Hm, kalau begitu yang seharusnya direkrut Miles Films adalah Yuen Wo Ping (koreografer laga Crouching Tiger, Hidden Dragon dan The Matrix), bukan Xiong Xin Xin? Ah, mungkin bujetnya tak cukup.
Lagipula, buat saya, kesalahan utama kenapa adegan laga Pendekar Tongkat Emas
mungkin bukan pada sang koreografer laga, tapi pada sutradara. Ifa
tampak kurang kreatif memanfaatkan hutan Sumba yang menjadi lokasi
syuting. Atau, ia mungkin pada awalnya memang tak ingin membuat film
silatnya seperti film kungfu. Ia memang ingin adegan laga sekadar
bumbu.
Yang utama baginya adalah cerita dan menyuguhkan pemandangan Sumba yang ciamik.
Mari bicara ceritanya dahulu. Kisah film ini sangat khas sebuah
cerita silat. Seorang pendekar renta, Cempaka (Christine Hakim) ingin
mewariskan senjata pusakanya, sebuah tongkat emas dan jurus pamungkas
Tongkat Emas Melingkar Bumi pada muridnya yang dirasa tepat, Dara (Eva
Celia). Hal ini membuat dua murid lain, kakak seperguruan Dara dan Angin
(Aria Kusumah), yakni Elang (Reza Rahadian) dan Biru (Tara Basro)
murka. Mereka, yang orangtuanya dibunuh Cempaka dahulu, ingin merebut
tongkat emas. Cempaka terbunuh. Dara dan Angin melarikan diri, dan
kemudian dibantu Elang (Nicholas Saputra) membalaskan dendam.
Masalahnya, sekali lagi bagi saya, cerita di atas terhitung
sederhana bagi sebuah cerita silat. Ceritanya tidak menawarkan kebaruan.
Apalagi bila Anda tumbuh membaca cerita-cerita silat mulai dari komik
silat Ganes TH atau Hans Jaladara hingga membaca novel silat Kho Ping
Kho sampai Naga Bumi-nya Seno Gumira Ajidarma.
Terlihat betul segala filosofi dunia persilatan yang ada di film
ini tampaknya diambil Seno dari segenap tulisan-tulisannya yang
berserakan.
Lagi-lagi, semula saya berharap banyak. Saya berharap cerita Pendekar Tongkat Emas tak sesederhana itu. Saya berharap ceritanya memiliki sedikit inovasi macam film Wu Xia-nya Peter Ho yang dibintangi Donnie Yen yang menggabungkan cerita silat dengan cerita detektif, atau Once Upon a Time in China-nya Tsui Hark yang dibintangi Jet Li yang mampu merekam gejolak zaman Tiongkok menuju era modern.
Ifa Isfansyah mungkin tak berniat membuat film silat yang istimewa,
memiliki berbagai unsur kebaruan. Ia dan Miles Films mungkin sejak awal
ingin membuat film silat yang klise, penuh stereotip (makanya Tara
Basro cuma punya satu jenis ekspresi sepanjang film: memandang sinis
penuh kebencian). Jika yang ingin dicapai sekadar membuat film silat,
Ifa Isfansyah setidaknya sudah menunaikan tugasnya dengan baik.
Patut dicatat pula ia menyuguhkan alam Sumba yang indah. Saat
kamera merekam dengan luas, kita patut bangga Sumba tak kalah indah
dengan Selandia Baru dalam gambar-gambar Peter Jackson di trilogi The Lord of the Rings dan trilogi The Hobbit.
Saya mencoba memahami, sebagai upaya rintisan, film ini mungkin tak
bisa terlalu ambil risiko berinovasi. Disuguhkan film selain horor
mesum yang dibuat seminggu jadi sepatutnya kita, sebagai penonton, patut
bersyukur.
0 comments:
Post a Comment