Tunggakan HAM untuk Para Capres
Written By Admin on Friday, 9 May 2014 | 12:30
Pascagelombang Reformasi 1998, Indonesia mulai bergerak ke arah perbaikan dan penyusunan nilai-nilai kemanusiaan yang ditandai dengan dibentuknya Undang-Undang (UU) Hak Asasi Manusia (HAM). Tapi kini, kondisi penegakan HAM justru makin memprihatinkan.
Sejatinya, undang-undang menjadi nyata apabila dilaksanakan secara sungguh-sungguh oleh pemegang kekuasaan pemerintahan. Kuncinya tentu berada di tangan presiden sebagai kepala pemerintahan. Komitmen menjaga pluralitas, kebebasan berserikat, dan berpendapat harus terus dipelihara.
Oleh karena itu, menurut Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Ham), Natalius Pigay, Pemilu 2014 adalah momentum penting bagi masyarakat Indonesia untuk memilih pemimpin yang memiliki komitmen kuat dalam penegakan hak asasi manusia.
Dalam catatannya sepanjang 2013 saja, ada sekitar 7.200 pengaduan yang masuk ke Komnas HAM, baik terkait dugaan pelanggaran HAM berat maupun biasa. Angka ini meningkat sekitar 44 persen jika dibandingkan pengaduan tahun sebelumnya yang hanya berjumlah sekitar 5.000 pengaduan.
"Ini menandakan kondisi penegakan hak asasi manusia di Indonesia masih sangat rendah dan semakin memprihatinkan," ujar Natalius saat diwawancarai Plasadana.com untuk Yahoo Indonesia.
Oleh karena itu, dia menyarankan kepada masyarakat untuk jeli memilih calon presiden. Cara paling mudah dengan memeriksa visi serta misi dari calon presiden tersebut. Apakah dalam setiap kampanye calon tersebut memiliki strategi perbaikan kondisi HAM atau tidak? Selain itu, apakah mereka berani mendorong penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang hingga kini masih terus digantung pemerintah.
"Komnas HAM sendiri akan meminta kepada KPU (Komisi Pemilihan Umum) untuk menjadwalkan seluruh capres yang ada agar bisa berdiskusi dan menyampaikan gagasannya kepada Komnas HAH," ujarnya.
Natalius mengungkapkan, jika melihat pengalaman masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sulit rasanya membuat hak asasi manusia menjadi orientasi utama kegiatan pemerintah. Pada September 2009 misalnya, Panitia Khusus DPR RI Peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa periode 1997-1998 telah merekomendasikan empat hal kepada Presiden, salah satunya membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.
Namun, ketika Komnas HAM meminta bertemu presiden untuk membahas masalah tersebut, presiden melalui Menteri Sekretaris Negara justru menolak. Alhasil, hingga kini rekomendasi tersebut hanya menjadi tumpukan kertas di meja presiden.
"Mungkin presiden tidak ada waktu atau bisa juga dimaknai sulit mengimplementasikan rekomendasi tersebut karena alasan masa jabatan yang terbatas," ketus dia.
Untuk itu, lanjut dia, Komnas HAM berharap agar presiden mendatang benar-benar serius dan mempunyai komitmen dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Selain itu, perlu memiliki strategi dan keberpihakan untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan dan pelanggaran HAM, baik karena alasan perbedaan keyakinan ataupun perbedaan pandangan.
Jangan sampai, ada yang namanya barter imunitas atau menjadikan sebuah kasus pelanggaran HAM alat transaksi politik. Misal, ada seorang pejabat, tokoh, atau kelompok yang diduga terlibat kasus pelanggaran HAM, namun karena alasan politik dia dilindungi dengan cara menghambat penyelidikan ataupun menghambat pembentukan pengadilan HAM.
Terakhir, dia melanjutkan, jika calon presiden mendatang memiliki keberpihakan terhadap penegakan HAM, maka dia harus berani amandemen UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Utamanya, terkait kewenangan Komnas HAM yang hanya terbatas pada penyelidikan sebuah kasus pelanggaran HAM.
"Kalau kita mendapat kewenangan untuk menyidik, maka akan lebih baik dan tidak serumit sekarang karena harus melalui Kejaksaan Agung terlebih dahulu," tegasnya.
0 comments:
Post a Comment