Home » » 5 Fakta jurang si kaya dan miskin makin lebar di era SBY

5 Fakta jurang si kaya dan miskin makin lebar di era SBY

Written By Admin on Wednesday 5 March 2014 | 23:30


Berita menggembirakan datang dari Majalah Forbes. Sederet nama orang terkaya dunia dipaparkan lengkap beserta data jumlah kekayaannya. Yang menarik dari data orang terkaya dunia 2014 versi Forbes, setidaknya ada 10 orang Indonesia yang masuk dalam 1.000 orang paling tajir sejagat raya.

Di dalamnya ada nama-nama miliuner Indonesia yang sudah tidak asing di telinga. Sebut saja pemilik Grup Djarum Budi Hartono yang kekayaannya menembus USD 7,6 miliar atau setara Rp 88 triliun. Ada pula saudaranya Michael Hartono yang punya kekayaan USD 7,3 miliar. Nama lain adalah Mochtar Riady dengan kekayaan USD 2,5 miliar, Sukanto Tanoto dengan kekayaan USD 2,1 miliar dan lainnya.

Masuknya orang Indonesia dalam daftar orang terkaya sejagat bukan hal baru. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi turut serta membuat harta kekayaan mereka berlipat ganda. Hanya saja, yang masih menjadi keprihatinan bersama adalah peningkatan harta kekayaan orang kaya tidak seiring sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat miskin di Indonesia. Bahasa mudahnya, orang yang kaya semakin kaya, yang miskin makin miskin.

Jurang antara si kaya dan si miskin di Indonesia semakin lebar dalam kurun waktu 1 dekade atau 10 tahun terakhir. Persis di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY ) dan Kabinet Indonesia Bersatu. Dengan sederet angka dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kabinet SBY mengklaim sukses menekan angka kemiskinan. Namun, dari data BPS juga, yang tidak bisa ditutupi adalah ketimpangan antara orang kaya dan orang miskin justru semakin lebar.

Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Sugeng Bahagijo menuturkan, kondisi ini tidak boleh dianggap sepele karena dapat berdampak buruk pada stabilitas ekonomi nasional.

"Dampak ketimpangan banyak sekali, bukan hanya kelompok bawah merasa iri dan frustasi, tetapi kelompok atas juga akan merasa pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak menguntungkan sama sekali," kata Sugeng di sekretariat INFID, Jakarta, kemarin.

Sugeng mengaku heran sebab persoalan ketimpangan kaya dan miskin tidak pernah disinggung serta disentuh pemerintahan SBY . Pada saat Pemilu 2009 pun isu ini sama sekali tidak diperhatikan.
"Padahal, indikator keberhasilan pembangunan ditentukan dari tingkat penurunan ketimpangan," tegasnya.

Masalah ketimpangan harus menjadi agenda utama pemerintahan pengganti kabinet SBY . "Dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) lima tahun mendatang, di samping penurunan kemiskinan dan pengangguran, harus mencantumkan penurunan ketimpangan dari 0,41 persen menjadi 0,35 persen," katanya.

Pengalaman negara lain seperi Brasil bisa dijadikan contoh. Di bawah presiden Luiz Inacio Lula, Brasil sukses mengikis jurang si kaya dan si miskin. Brasil dengan program Zero Hunger, Bolsa Familia dan peningkatan upah minimum serta Jaminan kesehatan universal terbukti menurunkan ketimpangan.

Menyimak pengalaman negaranegara maju dengan tingkat ketimpangan yang rendah seperti Swedia dan negaranegara Skandinavia, peran pemerintah menjadi yang utama. Penurunan ketimpangan menuntut pemerintah mengurangi atau bahkan melepaskan kebijakan neoliberal yang terlalu menggantungkan nasib warga negara kepada pasangsurut pasar dan pertumbuhan ekonomi.

Terlepas dari itu, beberapa fakta yang menggambarkan jurang si kaya dan si miskin makin lebar di Indonesia. Berikut paparannya berdasarkan data yang dihimpun dari INFID.

1. Gini rasio naik


Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Sugeng Bahagijo menegaskan, ketimpangan antara kaya dan miskin mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Sugeng mendasarkan hal itu pada koefisien gini yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

"Dalam kurun 10 tahun terakhir, gini rasio BPS naik menjadi 0,41 persen dari sebelumnya sebesar 0,33 persen," ujar Sugeng di Sekretariat INFID, Jakarta, Selasa (4/3).

Sugeng mengakui angka ini masih kecil dibandingkan dengan China sebesar 0,5 persen dan Afrika Selatan sebesar 0,6 persen.

2. Jakarta dan Bandung paling timpang

Berdasarkan survei yang dilakukan para ekonom Universitas Padjadjaran, Jakarta merupakan kota dengan tingkat ketimpangan tertinggi di Indonesia mencapai 0,42 persen pada 2012. Menurut Program Officer Kemiskinan dan Ketimpangan INFID Siti Khoirun Nimah, ketimpangan ini terlihat dari banyaknya aset yang dimiliki segelintir orang di Jakarta.

"Kita tahu di Jakarta ada segelintir keluarga yang memiliki rumah lebih dari satu. Sementara banyak keluarga lain tidak memiliki rumah," ungkap dia.

Sementara itu, terang Nimah, pada tahun yang sama terdapat 20 persen orang kaya di Jakarta menikmati 49 persen pendapatan nasional. "Di sisi lain, 40 persen kelompok termiskin di Jakarta hanya menikmati 16 persen pendapatan nasional," ungkap dia.

Kota Bandung juga mengalami peningkatan ketimpangan yang sangat pesat. Pertumbuhan ekonomi Bandung yang pesat (9% per tahun) ternyata dibarengi dengan peningkatan ketimpangan yang sangat tinggi. Salah satu cirinya adalah dengan membandingkan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan konsumsi.

3. Ketimpangan pendapatan



Program Officer Kemiskinan dan Ketimpangan INFID Siti Khoirun Nimah menuturkan, terjadi peningkatan pendapatan yang tidak sebanding antara kelompok kaya dan miskin pada 2012. "10 persen orang kaya mengalami peningkatan pendapatan 12 kali lipat dibandingkan dengan 10 persen masyarakat miskin," ungkap dia.

Direktur Eksekutif INFID Sugeng Bahagijo membenarkan hal tersebut. Dia mengungkapkan, mengutip survei remunerasi CEO Indonesia yang dilansir majalah SWA, terjadi ketimpangan pendapatan cukup besar antara kelompok kaya dan miskin. Dia menilai fakta ini jauh dari keadilan.

"Tingkat perbedaan remunerasi antara CEO dengan tenaga kerja lulusan perguruan tinggi mencapai 300 persen. Padahal, idealnya tidak lebih dari 25 persen," ungkap dia.

4. Sistem perpajakan ciptakan ketimpangan


Pemerintah terus mencoba membuat instrumen baru agar pajak negara semakin membesar. Namun hal itu dinilai telah menciptakan diskriminasi bagi wajib pajak. Sebab, instrumen yang diterapkan dinilai hanya diperuntukkan bagi golongan menengah, tidak untuk golongan kaya.

"Tax ratio kelompok kaya hanya sebesar 1,2 persen. Padahal kelompok menengah ke bawah sudah mencapai 13 persen," ujar Peneliti Kebijakan Ekonomi Perkumpulan Prakarsa Wiko Saputra di Sekretariat International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) di Jakarta, Selasa (4/3).

Harus diakui, pendapatan orang kaya di Indonesia terbilang sangat besar. Tetapi, besaran pajak yang dibayarkan oleh kelompok kaya tidak sebanding dengan nilai pendapatan mereka.

Sedangkan untuk kelompok menengah, kata dia, pemerintah menerapkan pelbagai instrumen yang disesuaikan dengan tingkat pendapatan. Ini membuat masyarakat golongan menengah semakin sulit memperoleh kesejahteraan.

5. Ketimpangan semakin genting


Kegentingan soal ketimpangan dapat dilihat dari data berikut ini:

1. Angka kematian ibu Indonesia yang paling tinggi di ASEAN dan juga di antara negara-negara berpendapatan menengah (middle income countries) sementara Kue Ekonomi Indonesia (PDB) jauh melampaui Malaysia, Singapura dan Thailand.

2. Kualitas SDM Indonesia seperti terlihat dalam pendidikan rata-rata angkatan kerja Indonesia, masih setara SD-SMP. Sementara kompetisi ekonomi dan pasar kerja, khususnya yang bergaji layak, di dalam negeri maupun di luar negeri yang didorong oleh pasar bebas akan bertumpu dan dimenangi oleh mereka dengan pendidikan tinggi, keterampilan tinggi dan kesehatan.

0 comments:

Post a Comment