Berobat ke Luar Negeri Tetap Tren
Written By Admin on Sunday, 24 November 2013 | 02:50
Jumlah warga Indonesia yang berobat ke luar negeri terus bertambah. Keunggulan teknologi, kemampuan medik, dan keramahan layanan masih menjadi alasan pendorong. Setiap tahun, triliunan rupiah devisa negara mengalir ke negara-negara tetangga.
”Pemerintah tak bisa menyalahkan rakyat yang ingin berobat ke luar negeri. Di Indonesia, pasien belum dianggap sebagai mitra pengobatan, melainkan masih sebatas obyek,” kata Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany, Rabu (6/3), di Jakarta.
Meski sejumlah rumah sakit pemerintah dan swasta gencar mengembangkan layanan kelas VIP (very important person) dan super-VIP, kata Hasbullah, persepsi pasien Indonesia atas buruknya layanan rumah sakit tidak berubah. Modernisasi hanya terjadi pada penyediaan ruang dan peralatan medik, tetapi profesionalitas dan kemampuan tenaga medik dan pendukungnya belum tertata baik.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Henky Hermantoro, dalam Medical Excellence Japan Seminar: Indonesia-Japan Medical Collaboration, Sabtu (23/2), menyebut, ada 600.000 warga Indonesia berobat ke luar negeri pada 2012. Biaya yang mereka keluarkan mencapai 1,4 miliar dollar Amerika Serikat atau setara Rp 13,5 triliun.
Jumlah ini menunjukkan peningkatan berarti dibandingkan dengan tahun 2006. Saat itu, ada 315.000 orang berobat ke luar negeri dengan total pembelanjaan mencapai 500 juta dollar AS (setara Rp 4,8 triliun dengan nilai tukar saat ini).
Singapura dan Malaysia masih menjadi tujuan utama turis kesehatan Indonesia. Sejumlah negara lain kini mulai melirik calon pasien dari Indonesia, seperti Thailand, China, India, atau Jepang.
Manajer Senior Pengembangan Perusahaan, Pusat Mata Nasional Singapura (Singapore National Eye Centre/SNEC) Tricia Tan dalam Media Visit to SNEC, Singapura, Selasa (26/2), mengatakan, tiap tahun ada 18.000 pasien mancanegara dan 275.000 pasien Singapura yang berobat ke SNEC.
Pasien asing berasal dari sejumlah negara, termasuk Indonesia. Selain berobat atas inisiatif sendiri, sebagian pasien dirujuk dokter di Indonesia.
Sementara itu, pasien Indonesia yang berobat di sejumlah rumah sakit anggota kelompok Parkway Health, Singapura, tahun 2010 mencapai 60 persen dari total pasien asing. Jumlah pasien asing di grup rumah sakit swasta ini 30 persen dari jumlah total pasien yang dilayani (Kompas, 15 November 2010).
Menurut Henky, alasan penduduk Indonesia berobat ke luar negeri antara lain mencari teknologi pengobatan yang lebih canggih, mencari layanan kedokteran lebih unggul, serta mendapat layanan keperawatan lebih baik. Ada pula yang berobat ke luar negeri karena lebih murah.
Pengobatan di beberapa rumah sakit Malaysia, khususnya untuk operasi-operasi besar, diakui banyak pihak lebih murah dibandingkan dengan Indonesia. Selain itu, sistem kerja penuh waktu dokter di rumah sakit Malaysia membuat pasien merasa aman saat berobat. Di Indonesia, untuk mendapat penghasilan cukup, banyak dokter berpraktik di banyak rumah sakit.
Mahal
Mahalnya pengobatan di Indonesia dinilai Hasbullah disebabkan oleh belum adanya sistem pengaturan tarif. Akibatnya, sejumlah rumah sakit menetapkan harga layanan berdasar harga layanan di rumah sakit lain.
”Pengenaan aneka pajak terhadap alat-alat kedokteran dan obat-obatan juga membuat layanan medik di Indonesia mahal,” katanya.
Hasbullah menambahkan, pelayanan pasien kelas kaya di Indonesia akan baik jika pelayanan untuk pasien miskin juga baik. Biaya layanan pasien miskin harus ditanggung negara, bukan disubsidi pasien kaya. Sistem subsidi silang dari pasien kaya kepada pasien miskin yang diterapkan sejumlah rumah sakit akan mengurangi kualitas layanan yang diterima pasien.
Sistem yang menjamin kualitas layanan seluruh rakyat termasuk gaji dokter Indonesia kini sedang ditata seiring rencana pelaksanaan sistem Jaminan Kesehatan Nasional mulai 2014. ”Tapi pemerintah harus konsisten untuk menanggung biaya pasien miskin secara memadai,” kata Hasbullah.
0 comments:
Post a Comment