Home » » Utang asing terus bengkak versi pengamat

Utang asing terus bengkak versi pengamat

Written By Admin on Sunday 20 April 2014 | 09:10


Bank Indonesia (BI) baru saja melansir data terbaru mengenai utang luar negeri Indonesia. Per Februari 2014, utang luar negeri Indonesia tembus USD 272,1 miliar atau setara dengan Rp 3.107,4 triliun. Angka utang ini konsisten naik dari bulan sebelumnya yang hanya USD 269,7 miliar.

Jika dibandingkan bulan Februari tahun lalu, angka utang ini juga terus naik, di mana Februari tahun lalu utang luar negeri Indonesia hanya USD 253,3 miliar.

Dilansir dari situs resmi Bank Indonesia , utang luar negeri ini terdiri dari utang luar negeri pemerintah dan bank sentral serta utang luar negeri swasta. Utang luar negeri pemerintah tercatat USD 122 miliar dan utang luar negeri bank sentral sebanyak USD 7,1 miliar. Sedangkan, utang luar negeri swasta mencapai USD 143 miliar.

Bank Dunia sudah mengingatkan negara berkembang untuk mengurangi utang. Direktur Pelaksana Bank Dunia yang juga mantan menteri keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penundaan pemangkasan stimulus moneter oleh bank sentral AS harus dijadikan kesempatan bagi negara berkembang untuk melakukan dua hal. Perbaiki ekonomi domestik dan mengurangi jumlah utang luar negerinya.

"Negara yang sangat tergantung dengan aliran modal asing harus memperkuat neraca utangnya dengan mengurangi ketergantungannya pada utang valuta asing yang berjangka pendek," katanya.

Bank Dunia sendiri menempatkan Indonesia di urutan ke enam sebagai negara pengutang terbesar di dunia. Berturut-turut di urutan teratas ialah China, Brazil, India, Meksiko dan Turki.

Ketua Koalisi Anti Utang (KAU), Dani Setiawan, berpendapat tren kenaikan utang luar negeri swasta sudah menjadi sejarah Indonesia sejak zaman orde baru. "Memang ada satu warisan dan fenomena kalau terkait utang luar negeri swasta," ujarnya.

Apa saja sebab utang Indonesia selalu bengkak seakan tak pernah berhenti?

1. Pemerintah terlalu andalkan swasta gerakkan perekonomian

Ketua KAU, Dani Setiawan, selama ini Indonesia selalu mengedepankan sektor swasta untuk mendorong perekonomian ketimbang pemerintah. Jadi wajar jika utang swasta ini terus membengkak.

Pasalnya, pihak swasta dinilai lebih baik dalam hal pengelolaan utang dibandingkan pemerintah. Hal ini terlihat dari kuantitas pembukaan lapangan kerja di mana swasta unggul lebih banyak dibandingkan pemerintah.

"Pengaturan lapangan kerja coba dilihat sekarang ini yang lebih mengaturnya lebih kebanyakan swasta ketimbang pemerintah, dengan andalan ini maka risikonya kebutuhan modal yang besar. Itu pemerintah juga seakan memberikan hak eksklusif atau pelonggaran kepada sektor swasta," ujarnya.

2. Warisan masa lalu

Dani Setiawan mengatakan terus membengkaknya utang luar negeri karena pemerintah tidak punya cukup uang untuk membayar utang masa lalu. Untuk membayarnya, pemerintah juga terus menambah utang luar negeri.

"Itulah kita sekarang mengalami Net Negative Transfer. Utang luar negeri sekarang saja tidak cukup untuk membayar kewajiban utang lama," jelas Dani.

3. Bayar utang dengan utang

Ketua KAU, Dani Setiawan, menilai untuk menyiasati pembayaran utang masa lalu, pemerintah terus menambah utang dengan menerbitkan SBN (Surat Berharga Negara), obligasi valas (valuta asing) dan lain sebagainya.

"Mereka (pemerintah) terus menyiasati dan ini gali lobang tapi lobang yang lain tidak tertutup," jelasnya.

4. Gagal kelola pajak

Pemerintah dinilai gagal dalam mengelola pajak terutama sektor swasta. Sehingga yang terjadi membengkak utang luar negeri swasta mencapai USD 143 miliar atau setara Rp 3107,4 triliun.

Ketua Koalisi Anti Utang (KAU), Dani Setiawan, mengatakan menumpuknya utang luar negeri swasta disebabkan banyaknya pengusaha yang tak taat bayar pajak.

"Selama ini pemerintah tidak dapat meningkatkan pencapaian pajak karena selalu disandera kepentingan pengusaha sehingga yang ada menimbulkan orang kaya baru yang tak taat bayar pajak," ujarnya.

5. Anggaran selalu defisit.

Dari penelitian Lembaga swadaya Indonesia Budget Center (IBC), pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terlalu tergantung pada pinjaman atau utang. Baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Postur anggaran negara yang selalu defisit dan ditutupi dari pinjaman, seolah menggambarkan rendahnya komitmen pemerintah mengurangi utang. Padahal, sebetulnya peningkatan pendapatan negara dari sektor pajak dapat mengurangi ketergantungan utang dalam dan luar negeri.

0 comments:

Post a Comment