Gubernur terdahulu kau cari kabarnya, kau tanya “dimanakah dia.?”
Sekarang Gubernur-mu di got, di
gorong-gorong, di pembuangan sampah kotoranmu, ke tempat yang dengan
segera engkau menutup mulut dan membuang ludah pun enggan, namun itu pun menjadi keirian bagimu.
Namun jika iri, mengapa kau tak ikut saja ke got? paling tidak, datanglah untuk sekedar bertanya, bagaimanakah dia? sudah makankah dia? sehatkah dia? istirahatkah dia? walau menyakitkan mendengarnya kala itu cuma basa basi.
Ketika dunia menimbang, mempercakapkan, lalu memutuskannya masuk dalam jajaran sosok pemimpin yang pantas ditiru dan menginspirasi dunia, entah apa yang terjadi denganmu lagi, telingamu begitu panas, ego-mu gelisah, mukamu bagai bara.
Hahahah… padahal seharusnya kau tak perlu khawatir, kenyataannya kau dan aku lah yang tau... karena sesungguhya disini dia bagai dijadikan budak.
Tak mudah tersulut, memilih diam, muka tak semarak, tidak tampan, tidak gagah, tak suka membalas dan teramat sering dia berkata ” sudahlah nak, biarkan saja mereka, aku gak apa…” sungguh ! kau jadikan dia objek hinaan paling enteng di muka bumi!
Dihina, lalu kau ludahi dengan kata-katamu, Ia masih saja tetap diam dengan tangan dan kaki berlumpur di tengah hujan lebat yang membanting tubuh kerempeng-nya sembari membersihkan kotoran sampahmu.
Tragis! Tak
dianggap bagai Habibie, dibuang bagai Sri Mulyani, Sekarang kau sudah
menjadi sang ahli, sudah terlatih dan semakin mahir,
menginjak-nginjak Gubernurmu sendiri, yang tak peduli jikalau ia harus
sendiri bersamamu membangun negeri.
Bangsa yang mengasihimu tak habis pikir menangis melihat tingkahmu, bangsa yang membencimu tertawa dari dekat.
Dulu kau berdoa bagai drama,
sekarang kau terlalu suci untuk tak menyebut satu pun kebaikannya.
Sesaat kau begitu seperti orang kudus, bersih tanpa dosa dan noda, dan masih juga tak menyadari kalau engkau sedang menobatkan dirimulah Tuhanmu sendiri.
Hidupmu
aman, ada mereka yang membanting tulang membuat rumahmu terisi.
Mungkin karena itu kau tak ingin membentuk prestasi sehingga memilih
mengkritisi. Luka pun dilemparkan kepada rakyat sendiri yang bahkan
masih mencari jati diri.
Mengapa engkau tak mencoba diam sejenak , berhenti dan dengarkanlah hati nuranimu. Taukah kau? takkala engkau sedang asyik “mengata-ngatai” , bagai air mengalir dari bibirmu, kami sedang melihat sesuatu..
“…sesungguhnya kami melihat engkau sedang bergerak mengambil alih sebuah kursi, kursi yang bukan milikmu sendiri dan tak akan pernah menjadi milikmu… Kursi yang hanya disediakan Hanya bagi Sosok Pemegang Penghakiman Manusia…”
Jika kau tak suka, ungkapkanlah dengan ramah, jika kau benci tuliskan dengan cinta bagai curahan seorang anak kepada bapaknya. Jika kau terluka, sembuhkan lukamu dan bicaralah dari hati-ke hati.
“….dia baik, tapi sayang… lihat orang di belakangnya…” itu katamu, menjadi kamus sakral sebagai taktik melempar batu sembunyi tangan.
Jika kau tak juga sembuh dari lukamu, ingatlah bahwa sesungguhnya orang terluka akan melukai. Jangan pernah melemparkan lukamu. Berhentilah, tenangkanlah dirimu, sembuhlah dan mari tertawa membangun negeri.
Pohon yang baik disokong oleh akar yang kuat yang akan membawa makanan ke batang, ranting, daun, dan menghasilkan bunga yang akan membentuk buah. Namun, bagaimana rasa buahmu?
Apa yang kau hasilkan adalah tampilan isi hatimu. Maniskah buahmu? Makanan sehat atau sakit kah yang masuk ke akarmu? semua akan tampak dari buahnya.
Buah itu terlihat begitu nyata, bukan suatu fatamorgana. Ia fakta yang tak hanya terlihat dalam sebuah tindakan tetapi dari caramu berbicara itulah buahmu yang membongkar jenis akar hidupmu… Because, you are what you eat, what you say.
Pernahkau kau berdoa bagi sosok ini? doa seperti apa yang kau ucapkan ? Yah, dia Sosok yang selalu ada dipikiran seseorang bernama Iriana dan sosok yang sangat disayang Ahok Si pendekar kebenaran dari Pulau Belitung.
Lets Check Our Heart, You And Me,
But Please… Don’t Kill My Governor,
If He Will Be Our Next President, Let It Be.
Written by: @riacitinjaks
oleh : Maria Citinjaks
bagus bgt tulisannya
ReplyDelete