Sebanyak 84 satwa koleksi Kebun Binatang Surabaya dalam kondisi cacat dan sakit, 44 satwa diantaranya memerlukan perawatan medis intensif akibat sakit yang diderita sebelumnya. Direktur Utama Perusahaan Daerah Taman Satwa Kebun Binatang Surabaya, Ratna Achjuningrum mengatakan, kondisi satwa itu telah demikian adanya sebelum Perusahaan Daerah Taman Satwa mengelola Kebun Binatang Surabaya.
“Informasi ini kita sampaikan, tujuannya untuk mengedukasi kita semua, bahwa satwa di kebun binatang itu makhluk hidup yang bisa mati, dan kematian satwa di suatu lembaga konservasi adalah wajar. Bisa karena sakit, usia tua atau seleksi alam lainnya,” papar Ratna Achjuningrum, Direktur Utama Perusahaan Daerah Taman Satwa Kebun Binatang Surabaya.
Selain itu juga 41 ekor satwa yang berusia sangat tua dan dalam pengamatan khusus, karena mendekati batas akhir usia harapan hidup satwa bersangkutan. Pernyataan itu sekaligus untuk mengklarifikasi derasnya sorotan media, bila ada satwa yang mati di Kebun Binatang Surabaya selalu dikaitkan dengan opini pengelolaan yang kurang bagus.
“Kondisi seperti itu, cacat, sakit dan tua, sudah ada sebelum PDTS mengelola KBS pada 15 Juli 2013,” kata Ratna Achjuningrum kepada Mongabay-Indonesia, Selasa (28/1) di kantor Bagian Humas dan Protokol Pemerintah Kota Surabaya.
Pendataan dan pemeriksaan kondisi satwa ini dilakukan, bersama dengan pemeriksaan kondisi kandang yang juga banyak yang harus segera diperbaiki. “Kami sudah lakukan pendataan bersama dengan BKSDA, baik untuk kondisi kesehatan satwa dan juga kondisi kandang. Smua kami foto satu persatu,” ujar Ratna.
Ratna mengungkapkan, sebelumnya terdapat 204 spesies di Kebun Binatang Surabaya, namun kini jumlahnya tinggal 197 spesies. Sementara itu secara keseluruhan, total satwa di Kebun Binatang Surabaya sebanyak 3.459 ekor. “Selain banyak yang sakit dan cacat, beberapa di antaranya bahkan sakit cukup parah,” ungkap Ratna.
Ratna menjelaskan beberapa satwa yang cacat, sakit dan berusia tua di Kebun Binatang Surabaya, diantaranya seekor gajah bernama Hilir berjenis kelamin betina dan berusia 25 tahun. “Saat PDTS pertama kali masuk, gajah itu dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Selain sudah tua, mata kanannya sakit dan berselaput,” kata Ratna.
“Selain itu ada juga Candrika, seekor harimau putih berumur 16 tahun. Kondisi lidah Candrika sudah tidak normal karena tidak mampu mengais makanan dengan lidahnya. Hal itu tentu saja berimbas pada menurunnya nafsu makannya. Kalau sebelumnya sudah menurun 3 kilogram daging per hari, kini Candrika hanya mau menyantap 1 kilogram daging per hari,” Ratna menjabarkan.
Ada juga seekor singa bernama Angeli yang mengalami kelainan pada kaki belakangnya, sehingga singa itu harus berjalan sempoyongan. Di luar ketiga hewan tersebut ujar Ratna, masih banyak satwa dengan kondisi yang sama, seperti celeng goteng, beruang madu, kuda nil, dan komodo. Kelompok aves juga ada yang dalam kondisi cacat dan sakit.
“Terdapat 33 burung yang juga dalam kondisi cacat dan sakit, termasuk 3 merak biru dan 10 jalak bali,” ujarnya.
Kondisi satwa yang cacat, dan sakit itu lanjut Ratna, sebagian besar disebabkan oleh perilaku satwa itu sendiri, serta lemahnya pengawasan satwa oleh pengelola sebelum Perusahaan Daerah Taman Satwa.
“Bisa jadi karena satwa bersikap hiperaktif, atau perkelahian antar hewan dalam kandang. Bisa juga karena lemahnya pengawasan sebelum ditangani PDTS KBS sehingga membuat faktor-faktor itu mungkin saja terjadi. Sdangkan yang sudah tua, sudah pasti juga akan mati,” terangnya.
Sejauh ini Perusahaan Daerah Taman Satwa ujar Ratna, telah berupaya melakukan perawatan maksimal, seperti dengan memberikan obat, vitamin serta makanan yang berkualitas.
“Secara triwulan, PDTS rutin memberikan laporan kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA),” imbuhnya.
Dirut PDTS KBS Ratna Achjuningrum (tengah) memberikan keterangan pers terkait KBS. Foto: Petrus Risky
Satwa Surplus
Data Perusahaan Daerah Taman Satwa menyebutkan, terdapat beberapa satwa surplus yang perlu dipikirkan solusi penanganannya. Ratna menyebutkan beberapa satwa surplus seperti jalak bali yang berjumlah 144 ekor, dan pelikan berjumlah 94 ekor.
“Sejauh ini, dua jenis satwa tersebut yang populasinya paling banyak. Hal itu tentu berpengaruh terhadap penyediaan lahan dan kandang demi kenyamanan satwa,” kata Ratna.
Terkait satwa surplus, Perusahaan Daerah Taman Satwa Kebun Binatang Surabaya sedang berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan serta BKSDA, mengenai langkah yang harus dilakukan.
“Kalau memang ada rekom dari Kementerian maupun BKDSA untuk dipindah, ya akan kami pindah tentunya proses kepindahan sesuai prosedur agar tidak terjadi over populasi,” lanjutnya.
Mengenai pertukaran satwa, Ratna menegaskan bahwa pertukaran dapat dilakukan dengan berlandaskan pada Peraturan Pemerintah (PP) 8/1999 Tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar. Pada pasal 33 dan 34 dijelaskan, pertukaran boleh dilakukan dengan beberapa persyaratan, antara lain harus ada evaluasi terlebih dulu, harus ada tim penyetaraan nilai konservasi, serta ijin Presiden untuk satwa tertentu.
“Selain itu langkah teknis juga menjadi pertimbangan untuk melengkapi persyaratan pertukaran satwa, diantaranya untuk pemberi dan penerima satwa harus kembali memastikan, apakah penerima satwa mempunyai kandang dan keeper yang layak serta mampu menjaga satwa tersebut,” tutur Ratna.
Terkait pertukaran satwa dengan kendaraan bermotor dan museum pendidikan oleh pengelola Kebun Binatang Surabaya sebelumnya, Ratna mengakui kebenaran hal itu, dan tidak akan menggunakan barang-barang hasil pertukaran satwa sebelumnya sambil menunggu keputusan resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“PDTS tidak akan menggunakan barang-barang hasil pertukaran yang diduga bermasalah. Termasuk kandang kambing gunung yang masih dalam perbaikan itu tidak kami gunakan, karena statusnya masih bermasalah,” ucapnya.
Ratna menambahkan, meski satwa di Kebun Binatang Surabaya dalam kondisi masih surplus, namum secara jumlah spesies mengalam penurunan sehingga memerlukan penambahan satwa baru di kemudian hari.
“Memang ada surplus, tapi spesies turun dari 204 menjadi 197, sehingga butuh pengayaan. Ke depan penambahan spesies akan dilakukan, namun PDTS akan fokus pada pembenahan kualitas kandang terlebih dahulu,” ungkap Ratna yang menyebut kondisi kandang Kebun Binatang Surabaya masih jauh dari kesan layak, baik dari segi keamanan maupun dari segi standar operasional sesuai taraf internasional.
Kematian Hewan, Brankas Misterius dan Pertukaran Satwa
Dalam upaya meningkatkan keamanan di Kebun Binatang Surabaya, pasca terjadinya kematian tidak wajar singa jantan bernama Michael, Ratna Achjuningrum mengatakan, pemasangan kamera CCTV akan dilakukan di 52 titik di seluruh area Kebun Binatang Surabaya. “Saat ini CCTV sudah dipasang di 18 titik, ada yang di dalam dan di luar kandang. Mengenai lokasi persisnya tentu dirahasiakan demi kepentingan keamanan. Sisanya dipasang menyusul secara bertahap,” terangnya.
Pemasangan kamera CCTV ini merupakan upaya mencegah kematian satwa dari gangguan manusia, maupun keamanan Kebun Binatang secara keseluruhan. “Kamera CCTV ini untuk keamanan satwa, keeper satwa, serta pengunjung KBS,” tambahnya.
Upaya mengurangi faktor human error sehingga dapat berdampak pada kematian satwa, Perusahaan Daerah Taman Satwa juga melakukan evaluasi sumber daya manusia (SDM). Hal itu sesuai hasil keputusan rapat di kantor Presiden, Jakarta Pusat, Selasa lalu (21/1). Dari hasil evaluasi diketahui adanya karyawan yang melebihi batas pensiun sesuai peraturan daerah (perda).
“Ada 27 orang yang melebihi batas pensiun 56 tahun. Parameter evaluasi didasarkan pada loyalitas, attitude (kelakuan), softskill dan hardskill. Kita akan dalami lebih jauh, mana yang layak menjadi karyawan KBS mana yang tidak,” tandas Ratna.
0 comments:
Post a Comment