Home » , » Lima Alasan Menonton “Rurouni Kenshin: The Legend Ends”

Lima Alasan Menonton “Rurouni Kenshin: The Legend Ends”

Written By Admin on Sunday, 19 October 2014 | 12:30


Setelah menanti beberapa minggu, penonton akhirnya akan dapat menyaksikan bagian terakhir dari trilogi “Rurouni Kenshin”. Seri film yang dimulai dengan “Rurouni Kenshin” (2012) dan dilanjutkan dengan “Rurouni Kenshin: Kyoto Inferno” (“Rurouni Kenshin: Kyoto Taika-hen”) ini akan ditutup dengan “Rurouni Kenshin: The Legend Ends” (“Rurouni Kenshin: Densetsu no Saigo-hen”) yang menjadi akhir cerita adaptasi Kyoto Arc versi layar lebar. Setelah film pertamanya yang memuaskan dan sekuelnya yang membuat penonton penasaran, apakah film ketiganya berhasil menjadi suguhan yang tak kalah menghibur? Mari simak poin-poin rekomendasi kami di bawah ini sebelum menyaksikan filmnya di bioskop minggu depan. Berikut adalah lima alasan menonton “Rurouni Kenshin: The Legend Ends” (2014).

1. Keishi Ohtomo

Butuh visi yang kuat untuk mengadaptasi sebuah properti terkenal menjadi film layar lebar dengan sukses. Melalui “Rurouni Kenshin”, sang sutradara, Keishi Ohtomo, telah membuktikan bahwa ia dapat mengubah manga “Rurouni Kenshin: Meiji Kenkaku Romantan” menjadi sebuah suguhan serius tanpa mengorbankan hal-hal yang membuat kisah ini begitu disukai penggemarnya. Dengan menyajikan “Rurouni Kenshin” sebagai jidaigeki tanpa unsur fantasi yang berlebihan, Ohtomo berhasil mengeksekusi film adaptasi ini, dan di saat yang sama juga membuat sebuah film aksi seru yang dapat dinikmati penonton biasa.

Sama seperti yang telah dilakukannya di “Rurouni Kenshin” dan “Rurouni Kenshin: Kyoto Inferno”, Ohtomo kembali melakukan perubahan cerita dalam film ketiga untuk disesuaikan dengan alur serta durasi filmnya. Dibandingkan dua film pendahulunya, “Rurouni Kenshin: The Legend Ends” adalah seri yang paling berbeda dari manga dan anime-nya. Seperti yang bisa dilihat di trailer-nya, Ohtomo memutuskan untuk memindahkan klimaks cerita di atas kapal Rengoku milik Shishio. Meski demikian, dengan esensi cerita yang kurang lebih sama, para penggemar tak perlu khawatir bahwa adegannya akan kalah dramatis dengan pertarungan di manga-nya.

Meskipun masih punya kelemahan yang sama dengan seri-seri sebelumnya – terutama untuk urusan pacing – hal-hal yang telah dihadirkan oleh Ohtomo dengan baik dalam film-film pendahulunya seperti penggunaan dialog yang sama dengan manga-nya, syuting adegan aksi tanpa terlalu banyak suntingan, serta mencoba mengadaptasi materialnya serealistis mungkin masih menguatkan kualitas “Rurouni Kenshin: The Legend Ends”. Kalau Anda masih bermasalah dengan porsi dramanya yang berjalan cukup lambat, jangan khawatir. “Rurouni Kenshin: The Legend Ends” akan menyajikan adegan-adegan perkelahian seru yang sudah dijanjikan dari film sebelumnya. Tak sabar melihat hasil duel Kenshin dengan Sojiro Seta (Ryunosuke Kamiki), Aoshi Shinomori (Yusuke Iseya), dan Makoto Shishio (Tatsuya Fujiwara)? Segeralah ke bioskop untuk melihat aksi-aksi keren mereka.

2. Takeru Satoh



Lagi dan lagi, Takeru Satoh telah membuktikan bahwa ia adalah salah satu bagian terpenting dari kesuksesan franchise “Rurouni Kenshin”. Baik sebagai Hitokiri Izo di layar televisi maupun Hitokiri Battousai di layar lebar, Satoh sudah memperlihatkan bahwa ia mampu menyajikan akting dramatis dan adegan aksi dinamis dengan porsi yang sama kuatnya. Bila dalam “Rurouni Kenshin: Kyoto Inferno”, kita baru mencicipi setengah dari hasil latihan koreografi Satoh sebagai Kenshin Himura, dalam film “Rurouni Kenshin: The Legend Ends”, penonton dapat melengkapi pengalaman ini dengan menyaksikan Satoh mengeksekusi perkelahian-perkelahian dengan lapisan-lapisan emosi yang lebih dalam.

Dibandingkan dengan “Rurouni Kenshin: Kyoto Inferno”, “Rurouni Kenshin: The Legend Ends” punya pesan yang secara filosofis dan sosial lebih dalam. Untuk melengkapi perjalanannya menuju kedamaian yang dicarinya sejak ia berhenti menjadi seorang hitokiri dan kini membawa sakabatou sebagai perwujudan janjinya untuk tidak membunuh lagi, Kenshin harus terlebih dahulu menyelesaikan hal-hal yang dulu ditinggalkannya, dan menghadapi masa lalunya yang kelam karena telah mengakibatkan kematian banyak orang di era Bakumatsu. Melalui rangkaian penjelasan sederhana, dalam satu film Ohtomo menggambarkan rangkuman perjalanan hidup Kenshin sejak nyawanya diselamatkan ketika masih kecil, perpisahan dengan sang guru, catatan sepak terjangnya yang berdarah-darah ketika menjadi hitokiri, sampai ketika ia akhirnya dipertemukan kembali dengan Shishio yang sama-sama merupakan hasil transisi rezim yang ditebus dengan harga mahal.

Dalam hal akting, tantangan utama bagi Satoh dalam “Rurouni Kenshin: Kyoto Inferno” adalah menampilkan sisi Kenshin yang hampir tergelincir kembali ke dalam personanya sebagai hitokiri karena beban dari janjinya ternyata begitu berat untuk dipikul. Sementara itu, “Rurouni Kenshin: The Legend Ends” yang poros cerita utamanya melibatkan dua sosok dominan yang membantu Kenshin menentukan pijakan dan identitasnya kini menuntut Satoh untuk menampilkan akting terbaiknya saat berhadapan dengan Makoto Shishio, dan sang guru, Hiko Seijuro XIII (Masaharu Fukuyama). Untungnya, tugas ini jadi lebih mudah karena Fujiwara sejak awal telah tampil meyakinkan sebagai Shishio. Sementara itu, Satoh yang sudah pernah adu akting dengan Fukuyama dalam serial “Ryomaden” sebagai Izo Okada dan Ryoma Sakamoto pun tidak mengalami kesulitan untuk menampilkan chemistry sebagai murid dan gurunya yang sarkastis.

3. Kenji Tanigaki


Teknik inovatif Keishi Ohtomo memang telah membawa franchise “Rurouni Kenshin” menjadi tontonan yang hidup. Tetapi, nyawa dari setiap adegan aksi yang ada dalam film-filmnya tidak hanya hasil kerja Ohtomo. Kenji Tanigaki, sutradara adegan aksinya, yang merupakan stuntman veteran, aktor, koreografer adegan laga, dan sutradara film aksi merupakan sosok yang bertanggung jawab di balik setiap kepalan tinju dan sabetan pedang dalam film ini. Kalau penonton sudah melihat Tanigaki menyajikan pertarungan antara Kenshin dengan puluhan orang, duel maut, sampai adu pedang di ruangan terbatas, dalam “Rurouni Kenshin: The Legend Ends”, ia menghadirkan menu dengan ragam yang berbeda.

Dengan memandang bahwa pertarungan yang ada di layar pada dasarnya merupakan perpanjangan dari akting, Tanigaki menantang Takeru Satoh untuk mengaplikasikan gaya perkelahian yang bervariasi, tergantung dari orang yang menjadi lawan tandingnya. Contohnya, sebagai bagian penting dari Kyoto Arc, Kenshin yang kali ini dihadapkan dengan Hiko, harus beradaptasi dengan gaya bertarung sang guru yang pintar membaca emosi lawan, brutal, dan tak segan melukai muridnya sendiri. Sementara itu, ketika berhadapan dengan sang monster sendiri, Shishio, ia juga harus beradaptasi dengan musuh utamanya yang punya teknik hebat, cepat, dan dilengkapi senjata mematikan. Dengan memberi identitas yang sangat berbeda dari masing-masing koreografi perkelahian karakternya, Tanigaki membuat pertarungan Kenshin tak hanya jadi tantangan secara fisik saja, tetapi juga mental.

Tentu saja, tantangan terberat dalam mengadaptasi Kyoto Arc adalah menghadirkan versi live action dari jurus pamungkas Hiten Mitsurugi, Amakakeru Ryu no Hirameki. Apakah Kenji Tanigaki berhasil untuk menyajikannya di layar lebar? Rasanya hanya masing-masing penggemar “Rurouni Kenshin” saja yang bisa menjawabnya. Tetapi, kalau itu masih kurang, setidaknya Tanigaki sepertinya sudah terlihat berusaha untuk memasukkan varian gerakan yang mirip Kuzu Ryu Sen yang tentunya lebih atraktif untuk difilmkan karena tidak terlalu rumit intepretasinya.

4. Trilogi yang Memuaskan


Setelah membangun pondasi dari adaptasi Tokyo Arc yang apik dalam film pertamanya, Ohtomo melanjutkan langkahnya dengan Kyoto Arc yang jauh lebih kompleks. Karena panjangnya cerita Kyoto Arc dan banyaknya jumlah karakter baru yang harus diperkenalkan, membelah film adaptasinya menjadi dua merupakan sesuatu yang dapat dimaklumi. Tetapi, dengan film yang terbagi menjadi dua, fokus dan simplifikasi cerita yang membuat “Rurouni Kenshin” nyaman diikuti kurang dapat ditemui dalam dua sekuelnya. Dari sudut pandang penggemar, usaha Ohtomo untuk memasukkan sebanyak mungkin drama dan pertarungan penting dalam “Rurouni Kenshin: Kyoto Inferno” dan “Rurouni Kenshin: The Legend Ends” merupakan sesuatu yang sangat mengesankan. Tetapi, bagi yang kurang familiar dengan kisahnya, usaha untuk mengingat sebanyak mungkin karakter dan kisah latarnya, plus mengaitkan itu semua dalam sebuah kanvas besar merupakan sesuatu yang lama-kelamaan makin sulit untuk dilakukan.

Untungnya, sebagai sebuah film yang sadar akan keinginan penggemarnya, “Rurouni Kenshin: Kyoto Inferno” dan “Rurouni Kenshin: The Legend Ends” justru mencapai titik sukses baru yang agaknya tidak banyak dirasakan setelah menonton film-film adaptasi manga lainnya. Mungkin setelah menonton ketiga film ini, banyak yang berharap bahwa film ini punya durasi lebih panjang, dan franchise-nya tak berhenti sampai di sini saja. Tentu akan ada yang kecewa bahwa kisah ini digulirkan begitu cepat sehingga tak sempat mengupas latar belakang karakter yang krusial – contohnya seperti Sojiro Seta. Tokoh-tokoh penting yang telah hadir dalam “Rurouni Kenshin: Kyoto Inferno” juga tak seluruhnya kembali dalam porsi cukup di “Rurouni Kenshin: The Legend Ends”. Juppongatana yang diharapkan akan tampil lebih banyak di film ketiganya pun ternyata punya screen time yang terbatas. Selain itu, sebagai sebuah trilogi, banyak penggemar berat “Rurouni Kenshin” yang menyayangkan bahwa kisah favorit lain seperti Jinchuu Arc belum ada rencana untuk dibuat filmnya. Tetapi, mari berharap bahwa “Rurouni Kenshin: The Legend Ends” yang ditutup dengan manis ternyata akan menjadi jembatan untuk film lanjutan yang sama bagusnya.

5. Nobuhiro Watsuki


Nostalgia memang jadi alasan banyak orang untuk pergi berbondong-bondong ke bioskop demi menonton film-film “Rurouni Kenshin”. Baik bagi mereka yang pertama kali mengenal Kenshin Himura ketika masih kecil atau setelah dewasa, kisahnya yang memikat dan renungannya yang dalam membuat manga dan anime-nya menjadi favorit para penggemar dari berbagai umur. Tidak semua orang dapat melihat hasil karyanya diwujudkan dalam bentuk film layar lebar, tetapi Nobuhiro Watsuki diberi kesempatan ini dengan hasil yang memuaskan. Meski Keishi Ohtomo dan Takeru Satoh selalu diberi pujian utama untuk kesuksesan franchise “Rurouni Kenshin”, jangan lupa bahwa tanpa kisah apik dari Watsuki sebagai pondasinya, film ini tak akan pernah ada.

Dengan menonton seluruh seri film live action “Rurouni Kenshin”, hal ini tentu menjadi semacam bentuk apresiasi terhadap Watsuki dari para penggemarnya. Dengan popularitas Kenshin yang kini kembali menanjak melalui kehadiran film-filmnya, mereka yang pernah menjadi pembaca manga dan penonton anime-nya telah membukakan kembali pintu bagi karya Watsuki untuk kembali masuk ke dalam hati para penggemarnya. Setelah bertahun-tahun akhirnya Battousai pun kembali pulang. Okaerinasai, Kenshin.

Rurouni Kenshin: The Legend Ends” akan dirilis di Indonesia mulai tanggal 22 Oktober 2014.

0 comments:

Post a Comment